Bagaimana jika suatu persoalan yang dihadapi umat Islam tidak terdapat aturannya secara eksplisit dalam Alquran dan Sunah, tidak ada dalam ijma’ (konsensus ulama), juga tidak bisa diputuskan menggunakan qiyas (analogi hukum)? Sebagian ulama berpendapat, dalam kondisi ini perlu ada pertimbangan akal yang berorientasi kemashlahatan, selama pertimbangan itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at. Pertimbangan inipun diformulasi secara metodologis dan disebut sebagai “mashlahah mursalah”. Dari waktu ke waktu, mashlahah mursalah terus diperkenalkan, diterima, dikritik, direformulasi, diimplementasikan dalam berbagai fatwa.
Dalam perkembangan terkini, sudah banyak pakar dan pengkaji hukum Islam yang membuktikan bahwa mashlahah mursalah telah digunakan secara metodologis dalam keempat mazhab sunni (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), bahkan termasuk Syi’ah dan Zahiri. Temuan ini membantah anggapan yang berkembang sebelumnya bahwa mashlahah mursalah hanya digunakan pada mazhab tertentu, sementara mazhab lain menolaknya. Di antara pakar yang mengetengahkan itu adalah Muhammad Adib Shaleh, al-Qarafi, dan al-Syatibi. Kalaupun masih terdapat perbedaan, itu cenderung sebagai perbedaan diksi dan istilah semata, tetapi substansi dan prosedur metodologisnya hampir sama. Ada ulama menggunakan istilah “al-munasabah”, sementara sebagian yang lain menggunakan istilah “al-mashlahah” saja (tanpa “al-mursalah”), dan sebagiannya lagi cenderung dengan istilah “al-istishlah” saja.
Buku yang ada di tangan pembaca ini mencoba mengetengahkan formulasi mashlahah mursalah secara metodologis, berikut contoh-contoh penerapannya dalam menganalisis berbagai kasus dan menetapkan putusan hukum atas kasus tersebut. Formulasi ini perlu diketengahkan dan dikembangkan dengan harapan agar fikih selalu dinamis dan responsif menghadapi setiap perubahan zaman, menyelesaikan berbagai persoalan kontemprer, serta siap menghadapi tantangan masa depan.